Semoga Surga Merindukanmu
CERMIN

Semoga Surga Merindukanmu

Cerpen Berdiferensiasi

Oleh : Robby Nur Awaluddin, S.Pd

(Guru IPA dan TIK Honorer SMPN 1 Cibalong Kabupaten Garut)

Di tengah malam yang hening, saat orang-orang mulai terlelap tidur nyenyak.

“Prang… prang..,” tiba tiba sontak terdengar bunyi nyaring kaca pecah, diikuti samar samar suara perdebatan sengit, berasal dari rumah suami istri, Hasan dan Mira.

Dari kamar lain, Arda anaknya Hasan dan Mira terjaga dari tidurnya, kemudian ia tercenung, sekaligus kaget setelah memastikan sumber keributan di malam buta tersebut berasal dari kamar sebelah.

Ternyata kedua orang tua yang sangat disayanginya itu tengah bertengkar hebat.

Dengan diselimuti kesedihan, Arda berharap apa yang ia dengar hanyalah sebuah mimpi buruk yang tidak nyata.

Keesokan harinya, Arda yang semalaman tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ia merasa lelah, mentalnya tertekan, hingga membuatnya tidak dapat bangun lebih awal sehingga terlambat berangkat ke sekolah.

Dengan wajah murung dan kusam, setibanya di depan kelas, Arda perlahan mengetuk pintu.  “Tok… tok… tok…,” suara pintu kelas diketuk Arda.

Setelah pintu dibuka dari dalam, Arda dengan gugup memberanikan diri bertanya, “Pak, bolehkah saya masuk?” tanya Arda. “Maaf, saya terlambat, karena tadi bangun kesiangan,” ujarnya, memelas meminta belas kasihan.

“Paling juga semalaman habis begadang main game, Pak,” teriak Dino teman sekelasnya memotong dari arah deretan bangku belakang. “Benarkah itu, Arda?” tanya Pak Fersa, Guru yang sedang mengajar di kelas “Tidak, Pak. Saya tidak main game,” jawab Arda sambil menunduk lesu.

“Karena kamu sudah terlambat, Bapak izinkan kamu masuk kelas, namun dengan syarat, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Silakan sampaikan di depan kelas, disaksikan teman temanmu!” tegas Pak Fersa.

Dengan wajah murung, tanpa berpikir panjang, Arda pun pasrah melaksanakan perintah tersebut meski dengan suara pelan dan terbata bata..

Setelah itu, Pak Fersa menghampiri tabel pengurangan point 100 bagi pelanggar tata tertib dan penambahan point menuju point 100 bagi siswa yag melakukan perbuatan positif, terpasang di dinding depan kelas.

Seraya berkata, “Ini kan sudah disepakati, setiap pelanggaran maupun perbuatan positif akan berpengaruh terhadap grafik kenaikan dan penurunan point 100 siswa,” jelasnya.

“Dengan sangat menyesal, Bapak juga akan menginformasikannya pula kepada Pak Ibnu, Wali Kelas kalian untuk mengurangi point 100 Arda akibat kesiangan, sesuai ketentuan yang tertera dalam tabel,” papar Pak Fersa.

Padahal, dari kelas seberang, Pak Ibnu melihat Arda berdiri di depan kelas saat mengucapkan janji tidak akan kesiangan lagi, saat pelajaran Pak Fersa sedang berlangsung.

Jam istirahat tiba, di ruang guru, Pak Ibnu menghampiri Pak Fersa.

“Pak, kalau saya boleh tahu, apa yang terjadi dengan Arda?” tanyanya.

“Oh…Arda tadi terlambat 10 menit pelajaran saya. Dino bilang, ia semalaman begadang karena main game,” jelas Pak Fersa.

“Lalu, apa jawaban Arda?” pak Ibnu bertanya lagi, penuh penasaran “Dia bilang tidak bermain game. Kalau mau jelas, coba saja tanyakan pada anaknya langsung!” Pak Fersa menerangkan.

“O, iya hampir lupa, sekaligus melaporkan pelanggaran Arda. Untuk ditindaklanjuti pengurangan pointnya di tabel tata tertib siswa ya Pak,” ujar Pak Fersa mengingatkan.

“Oh, iya. terima kasih atas keterangannya Pak, mohon maaf sudah mengganggu waktu istirahat Bapak,” ujar Pak Ibnu kemudian berlalu kembali menuju meja kerjanya.

Pak Ibnu duduk termenung sejenak, kemudian membuka buku biodata siswa untuk mencari tahu siapa teman sekelas Arda yang rumahnya paling dekat.

Waktu terus berlalu. 15 menit sebelum jam pulang, Pak Ibnu mendatangi kelas yang dibimbingnya. Tiba di kelas, Pak Ibnu meminta izin kepada Guru yang sedang mengajar untuk menyampaikan hal penting.

“Anak-anak… maaf, Bapak minta waktu kalian sebentar. Apakah Ronal hadir hari ini?” tanya Pak Ibnu.

“Hadir, Pak.” jawab Ronal sambil replek mengacungkan tangan.

“Nanti setelah jam pelajaran berakhir, Bapak minta waktunya, jangan dulu pulang karena ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan,” beber Pak Ibnu mengutarakan maksudnya.

Ronal pun tercenung sejenak, memikirkan ada apa gerangan yang terjadi dengan dirinya, sehingga Pa Ibnu ingin bertemu secara khusus.

Namun tak lama berselang ia pun menjawabnya.” baik, Pak.” ujar Ronal.

“Deng dong deng dong…,” bel tanda jam pelajaran usai, berbunyi,

Pak Ibnu mendatangi kelasnya kembali dan mengajak Ronal pergi ke ruang BK.

Setibanya di ruangan yang dianggap angker bagi anak anak nakal itu, Pak Ibnu mulai bertanya tentang Arda.

“Begini Ronal, tapi sebelumnya kamu jangan kaget ya, Bapak ingin tahu banyak tentang Arda,” Pak Ibnu membuka percakapan.

“Kamu kan rumahnya dekat dengan Arda. Setahu kamu, kenapa beberapa minggu ini Arda terlihat murung?” tanya Pak Ibnu tanpa memberi kesempatan kepada Ronal untuk menjawabnya.

“Padahal sebelumnya ia anak yang ceria. Apakah kamu tahu, kenapa Arda berubah?” Pak Ibnu mengakhiri pertanyaan.

Setelah menghela napas, Ronal pun menjawabnya, “Saya juga tidak tahu kenapa Arda jadi begitu Pak,” tutur Ronal.

“Belakangan ini dia memang jarang terlihat ke luar rumah, Pak.” terang Ronal sambil mengernyitkan kening, mengingat ingat sesuatu.

“Oh iya Pak, semalam saya dengar suara kaca pecah dan ribut-ribut dari arah rumah Arda gitu, Pak,” tutur Ronal.

Perbincangan antara Pak Ibnu dan Ronal pun berakhir. Pak Ibnu yang awalnya telah meminta waktu Ronal, setelah itu berinisiatif mengantarkan Ronal pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah Ronal, Pak Ibnu menjumpai orang tuanya.

“Bapak dan Ibu, perkenalkan, saya wali kelas Ronal. Mohon maaf tadi saya ada keperluan dengan Ronal. Jadi, Ronal terlambat pulang,” terang Pak Ibnu

.“Iya, Pak. Terima kasih sudah mengantarkan anak kami ke rumah. Tadi saya sempat cemas, Ronal kok pulangnya terlambat. Tadinya Ayahnya mau menyusul ke sekolah.” tutur ibunya Ronal.

“Iya, Bu. Mohon maaf sudah membuat Bapak dan Ibu khawatir.” ujarnya seraya menjulurkan tangan untuk bersalaman.

Tak terasa 30 menit berlalu, Pak Ibnu pun berpamitan. Sebelum pergi, Pak Ibnu yang sejak awal ingin mengetahui tempat tinggal Arda, bertanya kepada Ronal yang berada disamping kedua orang tuanya.

“Ronal, rumahnya Arda yang mana ya?” tanya Pak Ibnu.

“Yang itu Pak, yang warna catnya pink,” tunjuk Ronal.

“Oh iya, makasih ya! Mari Bu, Pak, saya pamit pulang!”

“Iya, Pak. Terima kasih sudah berkunjung ke rumah kami,” ujar orang tua Ronal berbarengan.

Pak Ibnu pun menyalakan motor tua kesayangannya, lalu pulang menuju kediamannya.

Hari telah gelap. Pak Ibnu yang tengah menikmati waktu istirahatnya, tiba-tiba ia menerima pesan singkat bergambar dari Ronal berisikan caption dari media sosial Arda bertuliskan “Kenapa orang tuaku terus bertengkar. Lebih baik aku … saja”

Tiga Hari setelah caption itu, Arda tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Nomor ponsel yang ia gunakan pun tidak dapat dihubungi.

Tidak ingin semua berlangsung begitu saja, Pak Ibnu yang selama tiga hari itu pun sedang sakit, menguatkan diri untuk berkunjung ke rumah Arda.

Sesampainya di depan pintu rumah Arda, Pak Ibnu menekan bel. “Ting tong… Ting tong…”

Tak lama kemudian, Pak Hasan, ayahnya Arda membukakan pintu. “Saya Ibnu, wali kelasnya Arda. Betulkah ini rumahnya Arda?” tanya Pak Ibnu. “Ya, betul. Saya Ayahnya. Silakan masuk, Pak,” ujar Pak Hasan.

Ayah dan Ibu Arda yang kebetulan sedang ada di rumah, menanyakan maksud kedatangan Pak Ibnu. “Maksud kedatangan saya ingin menyampaikan hal penting kepada Bapak dan Ibu tentang Arda. Sudah tiga hari terakhir ini Arda tidak masuk sekolah,” terang Pak Ibnu.

“Saya mendapatkan pesan singkat dari guru-guru bahwa Arda tidak hadir tanpa keterangan. Jadi, saya mencoba untuk mengkonfirmasi sekaligus ingin bersilaturahmi dengan Bapak dan Ibu,” beber Pak Ibnu lagi.

“Apa benar, Pak?” tanya Mira, ibunya Arda. “Yang kami tahu Arda selalu berseragam setiap hari berangkat ke sekolah,” akunya. “Benar Pak, malahan saya yang mengantarnya ke sekolah pagi ini,” tambah Pak Hasan.

“Oh, ternyata begitu ya? tanya Pak Ibnu. “Berarti sekarang Arda tidak ada di rumah ya?” tanya Pak Ibnu Lagi. “Begini, Pak, Bu, mohon maaf sebelumnya, tiga hari sebelumnya saya mendapatkan informasi dari teman Arda, katanya Arda membuat caption dengan tulisan seperti ini di media sosialnya,” beber Pak Ibnu sambil memperlihatkan HP nya.

Setelah Pak Ibnu menunjukkan caption itu, orangtua Arda menangis sambil terlihat saling menyalahkan satu sama lain.

Menengahi perdebatan ringan itu, Pak Ibnu pun berupaya menetralkan suasana, “Mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya tidak bermaksud mencampuri urusan Bapak dan Ibu,” tutur Pak Ibnu.

“Di sini saya hanya ingin mencoba membantu Arda yang sedang membutuhkan teman untuk menenangkan perasaannya,” sambung Pak Ibnu.

“Saya memahami perasaan Bapak dan Ibu. Jauh dari lubuk hati, saya yakin Bapak dan Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya,” ungkap Pak Ibnu.

“Terlepas dari Apa yang sedang Arda alami, saya hanya bisa menyampaikan informasi yang mungkin belum diketahui oleh Bapak dan Ibu terkait caption yang dibuat Arda,” terang Pak Ibnu.

 “Jika boleh saya membantu, saya ingin mengetahui Apa yang disukai Arda,” tanya Pak Ibnu.

“Ini sebagai langkah awal untuk melakukan pendekatan dengan Arda,” beber Pak Ibnu menerangkan maksudnya.

“Boleh Pak. Ya, saya setuju,” ujar Bu Mira. “Arda sangat suka dengan gitar karena dulu ia pernah ikut les musik. Bahkan saat ia di dalam kamar, saya sering mendengar Arda memainkan gitarnya,” tutur Bu Mira.

Obrolan Pak Ibnu dan orang tua Arda pun tak terasa sudah berlangsung hampir dua jam.  Pak Ibnu yang saat itu merasa kurang sehat, berpamitan untuk pulang.

Keesokan harinya, saat jam istirahat. Pak Ibnu melihat Arda berdiam menyendiri di kelas.

Pak Ibnu sengaja membawa sebuah gitar, masuk ke kelas kemudian memetik gitarnya dengan melodi yang indah. Arda yang menyukai musik, nampak sumringah, sontak bertepuk tangan.

“Wah… Pak Ibnu hebat. Saya gak nyangka Bapak bisa main gitar. Lagu apa yang tadi dimainkan, Pak?” tanya Arda penasaran sambil mendekati Pak Ibnu.

“Makasih atas apresiasinya. Ini lagu yang Bapak ciptakan saat masih seumuran kamu, Da,” ujarnya menerangkan. “Oh, Bapak suka nyiptain lagu, ya? saya mau diajarin dong, Pak,” ujar Arda.

Pendekatan Pak Ibnu pada Arda pun berjalan lancar sesuai rencana.

Pak Ibnu terus berusaha lebih dekat dengan Arda yang pada saat itu memang membutuhkan teman yang mengerti keadaan dirinya, sehingga bisa membuatnya nyaman.

Hari demi hari mereka lalui bersama selama di sekolah.

Pak Ibnu yang merasa mulai akrab dengan Arda melanjutkan rencananya. Pada suatu kesempatan, kembali pak Ibnu melancarkan aksinya.

“Da, Bapak mau tanya. Kamu boleh menjawabnya kalau kamu percaya sama Bapak. Rahasia kamu aman dengan Bapak,” ujarnya mencoba meyakinkan Arda.

“Ya Pak, boleh. Apa yang mau ditanyakan, Pak?” tanya Arda.

“Kalau boleh Bapak tahu, kenapa sebelumnya kamu membolos selama tiga hari? tanya balik Pak Ibnu.

“Bapak saat itu ke rumah kamu lho. Kata orang tuamu, kamu selalu berangkat sekolah, tapi selama tiga hari itu Bapak dapat laporan dari guru-guru kamu sudah tiga hari tidak hadir tanpa keterangan,” tutur Pak Ibnu.

“Iya Pak, selama tiga hari itu saya menenangkan diri di tempat favorit saya, Pak,” aku Arda.

“Saya merasa sedih dengan diri saya sendiri karena perdebatan Ayah dan Ibu saya di rumah,” tuturnya, lirih.

“Hampir setiap malam, saya jarang bisa tidur karena mereka berdua,” ujar Arda berlinang air mata.

“Jujur saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Saya bingung harus melakukan apa supaya mereka bisa akur lagi kayak dulu,” ungkap Arda.

Mendengar semua itu, Pak Ibnu mencoba menenangkan dengan menepuk pundak Arda perlahan.

“Wah… Kalau begitu, nasib kita mirip Arda. Saat masih seumuran kamu, Bapak mengalami hal yang sama dengan yang kamu hadapi,” ujar Pak Ibnu seraya mengusap usap pundak Arda dengan penuh kasih sayang.

“Apa betul itu, Pak?” tanya Arda. “Sepertinya kita banyak kesamaan ya, Pak?,” ujar Arda.

“Mungkin hanya kebetulan saja,” tutur Pak Ibnu.

“Kalau boleh Bapak ngasih saran. Kamu mau Ayah dan Ibumu akur lagi, kan?” tanya Pak Ibnu.

“Iya mau dong, Pak” jawab Arda singkat.

“Begini… ini cuma saran.,” ujar Pak Ibnu mulai meyakinkan Arda.

“Lakukan jika hanya kamu bisa, ya,” ujarnya kembali.

“Mulai dari sekarang, ketika kamu sedang ada di rumah, coba dekati orang tuamu satu persatu dan ajak mereka berbicara,” saran Pak Ibnu lebih meyakinkan Arda.

“Saat kamu melihat mereka terlihat lelah, kamu bisa menawarkan bantuan atau melakukan hal yang bisa membuat keduanya senang,” tutur Pak Ibnu memberi solusi.

“Saat mulai terlihat renggang, kamu bisa menyatukan perasaan mereka lagi kok,” tutur Pak Ibnu mencoba meyakinkan Arda.

 “Kamu juga bisa berdo’a untuk kebaikan keluargamu usai beribadah,” ucap Pak Ibnu mulai tegas.

“Mohonkan kepada-Nya agar mereka dimudahkan rezeki, sehat selalu, dan hal baik lainnya yang bisa kamu minta,” tutur Pak Ibnu dengan dengan intonasi kembali lembut.

Sejak saat itu, Arda mencoba belajar untuk melakukan semua yang disarankan Pak Ibnu.

Tak pernah terbayang oleh Arda, perlahan hubungan orangtuanya kian membaik dari hari ke hari dalam seminggu terakhir.

Di sisi lain semenjak pertemuan itu, Arda tak pernah bertemu lagi dengan Pak Ibnu.

Hingga pada keesokan harinya, Arda dan teman sekelasnya mendapatkan kabar bahwa Pak Ibnu kritis dan sedang menjalani perawatan serius karena tumor otak yang dideritanya sejak lama.

Arda dan teman sekelasnya yang telah mengetahui hal itu, merencanakan pergi untuk menjenguk Pak Ibnu.

Namun, takdir berkata lain, Pak Ibnu telah menghembuskan napas terakhirnya sebelum mereka sempat menjenguk.

Sontak mendengar kabar itu, Arda merasa sangat kehilangan sosok guru terbaik yang ia idolakan.

“Terima kasih Pak Ibnu untuk semua pelajaran berharga yang telah Bapak berikan dalam hidup saya,” tutur Arda dalam hati.

“Semoga nanti saya bisa menjadi sosok seperti Bapak,” tuturnya kembali penuh harap.

“Semoga amalan kebaikan yang telah Bapak kerjakan dan berikan dengan tulus bisa menjadikan Bapak seorang yang dirindukan surga,” ucap Arda lirih, sambil menengadahkan tangan.

Panjatan do,a tulus Arda diakhiri dengan ucapan “Aminnn,” seraya mengusap wajah sedih dengan kedua belah telapak tangannya. (*)

Leave feedback about this

  • Quality
  • Price
  • Service

PROS

+
Add Field

CONS

+
Add Field
Choose Image
Choose Video