Oleh : Nura
Andi, seorang remaja laki-laki Kelas XII SMA hidup bersama Ibu kandungnya “Sarah”, Ayah tiri, dan seorang adik perempuan yang masih kecil dari perkawinan Ibu dan ayah tirinya.
Tibalah saatnya Andi menerima surat kelulusan dari sekolahnya. Dengan wajah rona bahagia, ia datang menghampiri Ibunya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Sambil tersenyum bahagia, Andi menunjukkan surat kelulusan dengan nilai yang sangat baik. Maklum, ia termasuk siswa yang pandai di sekolahnya.
Sebelum lulus, Andi mempunyai cita-cita menjadi seorang tentara. Andi mendekati Ibunya, ia berkata: “Mah, ini surat kelulusanku. Aku lulus dan mendapatkan nilai yang baik”.
Ibunya menjawab: “Alhamdulillah Nak, mamah ikut senang” seraya menatap Andi dengan mata berlinang. “Kenapa mamah menangis?”, tanya Andi sambil memegang tangan Ibunya yang sudah lemah.
“Maafkan mamah, Nak. Janji mamah yang dulu akan mendaftarkanmu menjadi TNI tidak bisa mamah penuhi”, ucap Ibunya pada remaja itu.
Dengan wajah sedih dan perasaan sedikit kecewa, Andi berdiri sambil berkata: “Oh… Ya, mah. Tidak apa-apa. Aku tahu kondisi mamah saat ini”.
Beberapa hari berlalu, bibi Andi, Yena yang tinggal di kota lain berkunjung ke kediaman Andi.
Bibinya datang, seraya berkata pada Ibunya Andi : “Mbak… Andi itu anak yang pandai. Kemana ia akan melanjutkan hidupnya setelah lulus SMA?”
Sarah menjawab: “Entahlah.. Mbak kasihan melihat Andi yang murung beberapa hari terakhir ini. Mungkin karena keinginannya dulu yang Mbak janjikan tidak terpenuhi.”
“Begini saja Mbak. Bagaimana kalau dia Mbak kuliahkan saja. Sayang kalau dia tidak melanjutkan kuliah. Aku tahu dia anak yang pandai”.
Sarah: “Ya. Baik. Tapi Mbak harus tanya dia dulu, mau atau tidak”.
Keesokan harinya Sarah memanggil Andi.
“Nak, sini… Mamah mau bicara.”
Andi: “Tunggu sebentar, Mah”.
Beberapa detik kemudian Andi datang dan bertanya: “Ada apa Mah?”
Sarah: “Mamah kan tidak bisa mendaftarkanmu ke TNI. Kemarin mamah ngobrol dengan bibimu. Bagaimana kalau kamu kuliah saja? Mau kan?”
Dengan perasaan bingung, remaja baru lulus SMA itu termenung dengan menunjukkan ekspresi penuh kegalauan.
“Kenapa lagi Nak?”, tanya Sarah.
“Aku bingung mah. Aku tak tau harus ngomong apa. Jujur sebelum mamah bicara ini, aku sudah punya pikiran untuk bekerja di Bandung dan menyusul Ayah di sana”, ucap Andi kepada Ibunya.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka, diikuti dengan langkah kaki yang mendekat. Tak diduga sebelumnya, Yena datang lagi ke rumah mereka.
Andi meraih dan mencium tangan bibinya itu.
“Apa kabar Bi?”, tanya Andi.
“Alhamdulillah… Bibi baik-baik saja”.
“Mbak… Bagaimana?” tanya Yena kepada Sarah.
“Mbak sedang membicarakan itu barusan dengan Andi, tapi Andi mau kerja di Bandung menyusul Ayah kandungnya”, jawab Sarah.
“Andi. Bibi sarankan kamu supaya lanjut kuliah. Sayang sekali kalau kamu tak meneruskan pendidikan. Bibi ingin kamu ke depannya jadi PNS”, ucap Yena kepada Andi.
Andi kembali termenung dan galau.
“Aku kan tidak mau kuliah, capek kalau terus mikir. Apalagi kuliah”, menanggap perkataan bibinya itu dalam hati.
“Gimana Andi?. Kamu mau kuliah kan? Nanti kalau sudah kuliah pamanmu mungkin bisa membantumu jadi PNS”, lanjut Yena sambil melihat ke arah Andi dan Ibunya.
Entah karena terpincut atau tertarik dengan ucapan adiknya, Sarah mengiyakan ucapan adiknya itu kepada Andi.
Andi yang memang pada dasarnya adalah anak penurut, akhirnya menerima saran bibinya. Namun sampai saat itu, Andi belum tau harus kuliah dimana dan apa jurusan yang harus diambil.
Suatu hari, tibalah saat dimana Andi harus ikut ke kota tempat bibinya tinggal untuk memilih kampus yang ingin ia jadikan tempat kuliah.
Dengan mata yang sayup dan sedih, Andi berpamitan kepada Ibunya dan pergi.
Kesedihan Andi memang wajar ia rasakan. Maklum, ia baru merasakan kebersamaan dengan Ibunya sejak kelas XI karena sebelum itu ia ditinggal kerja oleh Ibunya ke luar negeri menjadi TKW dan harus tinggal bersama Kakek dan Neneknya sejak usia 4 tahun karena perceraian orang tua kandungnya.
Andi pun sampai di tempat tinggal bibinya.
“Nah, ini tempat tinggal bibi, Andi. Semoga kamu betah.”, ucap Yena.
Andi hanya terdiam seribu bahasa dan hanya melihat ke kiri dan kanannya saja dengan perasaan tak menentu karena sebelumnya ia adalah anak yang sering mendapatkan tekanan dari Kakek dan Neneknya.
Alhasil Andi sering menuruti apa yang orang lain katakan tanpa ia sadar dan memikirkan perasaannya sendiri.
Keesokan harinya, di pagi yang sangat cerah…
“Andi, sudah mandi? Ayo lekas mandi kalau belum, mumpung pamanmu siap ngantar, hari ini kamu lihat lihat kampus untuk tempat kamu kuliah!”, teriak bibinya ke kamar atas tempat Andi tidur.
Andi pun bergegas mandi dan berpakaian. Segera setelah itu ia turun dari kamar atas menuju ke bawah, tepatnya ke ruang tamu.
“Andi, sudah siap?”, tanya pamannya.
“Sudah Om”, jawab Andi.
Sebelum pergi Andi dan Pamannya sarapan pagi bersama dan setelah itu pergi mencari kampus di kota itu dengan sepeda motor bersama pamannya.
Di perjalanan, Andi diperkenalkan pada kampus-kampus favorit di kota, namun ia masih juga belum merasa yakin kalau ia benar-benar ingin kuliah.
“Paman, bisa tidak kalau kita pulang? Aku belum tau harus kuliah dimana. Beri aku waktu untuk memikirkannya semalam lagi”, ungkap Andi kepada pamannya.
“Ya. Boleh. terserah kamu saja. Toh kamu yang akan kuliah. Pikirkan dulu baik-baik sebelum menentukan pilihan”, jawab Pamannya.
Akhirnya Andi dan Pamannya kembali ke rumah. Andi pun bergegas kembali masuk ke kamarnya di lantai 2.
Di malam hari yang dingin, ditemani angin dan gitar miliknya yang dibawa saat pergi dari rumah, ia bersenandung dan mengingat Ibunya di rumah.
Ia berpikir apakah Ibunya sehat. Wajar saja karena sebelum Andi meninggalkan kampung halaman, Ibunya sering sakit-sakitan di rumah. Ia memang sangat menyayangi Sarah dan khawatir kalau Ayah tirinya tak menjaga Ibunya dengan baik.
Keesokan harinya, entah mengapa Andi kepikiran pada suatu kampus keguruan yang ia lihat kemarin dengan pamannya.
Ia turun dari lantai dua dan menghampiri bibinya yang sedang masak kemudian berkata, “Aku sudah mendapatkan jawaban dimana aku akan kuliah, Bi”.
“Oh ya… Bagus kalau begitu”, jawab Yena.
“Bi… Apakah paman ada waktu untuk mengantarku lagi hari ini?”, tanya Andi.
Yena: “Sebentar bibi tanyakan dulu, ya”.
Yena pun pergi ke kamar dan tak lama kemudian menghampiri Andi.
“Kata pamanmu bisa, tunggu jam 10”, ucap Yena menjawab pertanyaan Andi sebelumnya.
Jam 10 tiba, mereka pun pergi ke kampus keguruan yang Andi pilih untuk kuliah.
Setelah tiba di kampus itu, Andi masuk ke kantor administrasi untuk mendaftar dan mengisi formulir di ruang administrasi tersebut.
Di tengah proses pengisian formulir Andi kembali bingung harus memilih Jurusan. Dan di sela kebingungannya itu, ia teringat kepada guru Fisika sewaktu di SMA yang sering menginspirasinya. Tanpa berpikir panjang, ia pun memilih prodi Fisika.
Tak lama setelah ia memberikan formulir, Petugas administrasi di kampus itu pun menyerahkan sebuah amplop berisi surat.
“Silakan dibaca di rumah, ya”, ucap petugas itu.
“Baik Bu, makasih..”,jawab Andi.
Andi dan Pamannya kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Andi pergi ke kamar dan membaca surat yang diterimanya. Surat itu ternyata berisi informasi tentang Seleksi Penerimaan Calon Mahasiswa Baru tahun akademik 2008-2009.
Tak terasa waktu berlalu, pagi ini adalah hari dimana Andi harus mengikuti seleksi.
Karena tempat Andi tinggal bersama bibinya dekat dengan kampus itu, Andi pun pergi jalan kaki sendiri ke kampusnya.
Ia mengikuti seleksi dan hasilnya ia masuk ke kampus jurusan pendidikan Fisika.
Waktu ke waktu, tahun ke tahun Andi lalui dengan belajar penuh semangat dan sungguh-sungguh.
Andi termasuk salah satu mahasiswa terbaik di prodi Fisika. Prestasinya yang baik membuatnya dekat dan kenal dengan dosen serta ketua prodinya.
Karena prestasinya itu ia pun mendapatkan beasiswa dari kampusnya.
Tak terasa waktu berputar, kini Andi adalah Mahasiswa senior yang duduk di tingkat 3 akhir.
Di suatu hari ia menerima kabar bahwa Ibunya masuk Puskesmas karena sakit hipotensi (tekanan darah rendah).
Andi pun bergegas meminta izin pulang kepada Bibi dan Ketua Prodi untuk menjenguk Ibunya yang sedang sakit di kampung.
Sesampainya di kampung halaman Andi bergegas mendatangi puskesmas tempat Sarah dirawat.
Dengan mata berlinang, Andi merangkul Ibunya sambil menangis.
“Mah, kenapa mamah tak bilang kalau mamah sakit?”, ucap Andi.
Ibunya hanya terbaring lemas tak bisa berbuat apa-apa hanya memandangi Andi dengan mata yang lelah.
Dua hari berlalu, kondisi Sarah mulai pulih dan hari itu Sarah sudah bisa berbicara meski dengan suara yang lemah ia dibawa pulang dari Puskesmas untuk kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Andi mendapat telpon dari rekannya di kampus.
“Bay, halo…”
“Ya, Den…”
“Kamu kepilih jadi pengawas untuk mengawas ujian di kampus UT. Gimana? Bisa nggak?”
“Duh, gimana ya, Ibuku sedang sakit. Nanti aku hubungi lagi ya…”
Andi pun mengakhiri telpon dari rekannya.
Tak diketahui sebelumnya, Sarah mendengar pembicaraan Andi dengan temannya.
Sarah: “Nak, pergilah.. Ibu sudah sehat. Kamu harus pergi lagi ke kampus”
“Tapi Ibu kan sedang sakit, bagaimana dengan Ibu di sini?. Aku tak percaya pada dia. Dulu saat aku di sini pun dia tak menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami. Sering pulang larut malam, kerjaannya hanya tidur”, ucap Andi membicarakan Ayah tirinya.
“Stttt, jangan begitu Nak, begitu pun dia suami Ibu. Dia punya tanggung jawab. Makanya sampai hari ini dia masih ada di sini”. Jawab Sarah pada anak lelakinya yang sudah tumbuh dewasa itu.
Andi kembali termenung sesaat. Ia pun merasa memang saat ini adalah waktu yang cukup sibuk di kampus.
Tak lama kemudian, ia membuka handphone nya dan mengirim pesan singkat menerima tawaran dari rekannya yang tadi menelponnya.
Keesokan harinya Andi pun pamit dan pergi kembali ke kota tempat ia tinggal bersama bibinya.
Sesampainya di kota, Andi mengikuti rapat bersama mahasiswa lainnya untuk membicarakan teknis pelaksanaan mengawas ujian di UT.
Setelah rapat usai ia pun pulang.
Tak disangka-sangka saat ia akan melakukan pengawasan ujian, Andi mendapat kabar yang sangat membuatnya terpukul.
Ia menerima telpon bahwa Ibunya sakit lagi dan hari ini Puskesmas tidak dapat menanganinya sehingga harus dibawa ke rumah sakit umum di kota tempat ia dan bibinya tinggal.
Andi pun terpukul atas kabar menyakitkan itu dan menelpon temannya untuk menggantikan posisinya sebagai pengawas ujian UT.
Dengan perasaan penuh kecemasan Andi menunggu telpon kedatangan Ibunya di rumah sakit.
Karena Andi adalah sosok yang memang dapat dibilang religius, ia kemudian beribadah dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ya Tuhan… Ampuni aku karena tidak bisa menjaga Ibuku. Sembuhkanlah dia, Tuhanku… Aku ingin dia tetap hidup bersamaku nanti.”
Di malam harinya Andi menerima telpon bahwa Ibunya telah sampai di rumah sakit.
Dengan perasaan sedih Andi bergegas datang ke rumah sakit tempat Ibunya dirawat.
Setelah beberapa menit berkeliling mencari ruangan dimana ibunya dirawat, akhirnya Andi bertemu dengan Kakek dan ayah tirinya, kemudian ia pun segera menemui Ibunya menuju kamar rawat.
Perasaan kaget dan sedih yang menyelimuti, hati Andi semakin terpukul ketika melihat Ibunya sudah tak merespon apa yang ia katakan.
Dalam hati, Andi bertanya: “Ya Tuhan… apakah ini pertanda orang akan meninggal?”
Jam ke jam ia lalui dengan duduk di samping Ibunya yang hanya berbicara tak jelas memanggil-manggil orang yang tidak ada di hadapannya. Sementara Andi yang duduk di sampingnya tak pernah dipanggilnya.
Hingga tiba pada jam 1.30 dini hari, Andi tak bisa menahan derasnya air mata yang tak terbendung lagi oleh matanya. Kenyataan pahit harus diterima ketika ia melihat Ibunya sudah tiada.
Isak tangis dan kepedihan hati Andi rasakan karena kebersamaannya dengan sang Ibu yang begitu singkat harus kembali berpisah untuk selamanya.
Andi, ayah tiri, dan Kakeknya kini harus membawa jenazah Sarah kembali ke kampung halaman untuk segera dimakamkan.
Sesampainya di kampung halaman, Andi kembali menangis dan terus menangis seakan menyesali kuliahnya.
“Kalau saja aku tak kuliah. Mungkin aku bisa menghabiskan banyak waktu denganmu, Mah”, ucap Andi berbisik lirih sambil mencucurkan air mata.
Kini kepergian Sarah membawa luka yang mendalam di hati Andi setelah prosesi pemakaman Sarah dilakukan.
Perasaan bersalah Andi pada Sarah seakan menjurus pada penyesalan Andi pada kuliahnya itu.
Seminggu berlalu, sementara itu Andi telah beberapa hari absen dari kampus. Di tengah perasaannya yang gelisah dan penuh kesedihan, untungnya Andi sadar dan mulai menerima takdir dan kepergian Ibu yang ia sayangi.
Andi ingat bahwa kematian adalah mutlak akan datang pada manusia.
Ia pun sadar, tak baik jika terus berlarut dalam kesedihan. Tapi, di sisi lain Andi pun berpikir siapa yang akan membiayai kuliahnya setelah sang Ibu tiada.
Untuk menjawab pertanyaan dirinya itu, Andi bertanya pada Kakeknya tentang kelanjutan kuliahnya setelah Sarah meninggal.
Sang Kakek kemudian menguatkan Andi bahwa ia akan membantu biaya kuliah Andi hingga lulus.
Dari sana Andi kembali menyemangati diri untuk melanjutkan kuliah.
Setahun sejak kepergian Ibunya ke alam baka, Andi akhirnya lulus sebagai sarjana Pendidikan Fisika dengan mendapatkan prestasi sangat memuaskan.
Kini, Andi telah lulus dan tak lama setelahnya ia pun bekerja sebagai seorang guru.
Di tempatnya bertugas di kota kecil tanah kelahirannya, Andi mendedikasikan diri, bukan hanya sekedar mengajar, masuk dan keluar ruang kelas, namun berbagai kegiatan sekolah pun kerap ia nahkodai. Bahkan tak jarang pulang larut malam. Baginya, pengabdian melalui profesi guru adalah lahan ibadah. Meski awalnya profesi tersebut bukan impiannya. (*)
Leave feedback about this