Bugh…..!
CERMIN

Bugh…..!

Cerpen Karya : Salsa Nuraeni

Kelas 8-F SMPN 1 Cibalong

RAGEM – “Ahhhh.. ampun a-aku min-ta-maaf, ” remaja itu terus memohon sambil meringis, air matanya jatuh membasahi pipi.

“Dasar cupu dicubit sedikit saja nangis,” bentak seseorang, disusul terdengar suara tawa yang saling bersahutan, seakan hal yang mereka lakukan bagai permainan yang menyenangkan.

“Ka, udah lah, tuh anak sampai nangis gitu kasian tau,” ucap seorang remaja berambut gondrong, namanya Rijal.

“Yaelahh ngapain ngasihani si cupu, lagian kita dihukum gara-gara dia juga, ngerjain PR punya kita asal-asalan,” ucap seorang remaja yang memiliki wajah tampan bak pangeran Yunani, tapi tidak sesuai dengan hatinya.

“Cabut, kantin” ucap remaja yang dipanggil dengan sebutan Ka itu.

Dia adalah Arkanta Atmaja, seorang remaja keturunan keluarga terpandang, bahkan bisa disebut sangat kaya, putra pasangan Arga Atmaja dan Seren Atmaja.

Arkanta akrab dipanggil Arkan, bersifat temperamen dan egois. Arkan memiliki dua sahabat, Rijal Arselo dan Gilang Nanendar, ya dia remaja yang diwarisi ketampanan bak dewa Yunani pula.

“Brak!!” suara pintu terbuka dengan kasar.

“Arkanta, dimana kamu,” suara teriakan menggema di dalam bangunan bernuansa mewah, namun sepi seperti tak berpenghuni.

“Tak Tak Tak,” terdengar seseorang menuruni tangga. “Aku disini pah,” jawab remaja memakai kaos berwarna putih polos dengan celana selutut.

Ternyata yang datang adalah Arga Atmaja, ayahnya Arkanta, seorang pria paruh baya namun masih terlihat tampan juga.

“Sudah dibilang, jangan membuat masalah di sekolah, Arkan,” ucap Arga dengan marah, dia melangkah menuju tempat remaja itu berdiri sambil menunjukkan surat panggilan orang tua dari sekolah Arkanta.

“Plak!!” satu tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Arkanta. Saking kencangnya sampai menimbulkan suara yang sangat nyaring.

Arkan hanya diam membeku sambil memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan ayahnya itu.

“Kamu ini tidak bersyukur, saya susah payah kerja hanya untuk kamu. Tapi kamu malah membuat saya malu, ini karena ulah bodohmu Arkan!” ucap Arga dengan sorot mata yang begitu tajam.

“Bersyukur?” Arkan balik bertanya.” Papah kerja emang buat aku, tapi Papah gak pernah tahu aku, bahkan saat acara ulang tahun aku pun, Papah gak datang,” sergah Arkan.

“Saat acara mengenang wafatnya bunda pun Papah gak ada, Papah terlalu gila kerja!” ujar Arkan setengah berteriak, jawaban sang putra terlontar sangat menohok.

“Saya tidak perduli itu semua, sekarang yang saya minta kamu tidak mencoreng nama baik saya lagi, jangan sampai marga di belakang namamu saya coret,” ujar Arga berang.

“Silakan, saya tidak takut, tuan Arga yang terhormat,” sindir Arkan dengan intonasi formal.

“Berani kamu berbicara seperti itu kepada ayahmu, Arkan!.” bentak Arga, geram.

“Itu karena anda sendiri yang memulai!” jawab Arkan kian kasar dan liar.

“Papah mau tahu kenapa aku sering membuat ulah, egois, kasar. Itu disebabkan oleh Papah,” tangisan Arkan mulai pecah bagai tertusuk duri yang sangat tajam, rasanya sangat menyakitkan.

“Papah sibuk dengan pekerjaan, jarang pulang, bodo amat sama Arkan, gak pernah nyapa. Makanya Arkan bikin ulah di sekolah,” ungkap Arkan bertubi-tubi. “Papah mau tau alasan nya?” disambung tanya oleh Arkan.

Arga pun bungkam. Ia tidak mampu berbicara, kaget pertama kalinya melihat Arkan menangis, rasanya sangat menyesakkan. “Apakah aku begitu jahat, sehingga Arkan begitu terluka?” pikirnya dalam hati.

“Arkan bikin ulah disekolah, ngebully orang, karena Arkan mau papah liat Arkan, Arkan butuh perhatian, butuh pelukan saat Arkan kangen bunda,” ujar Arkan bertubi tubi, disela isak tangis.

“Arkan cuma mau papah tahu, Arkan itu ada, Papah selalu sibuk dan gak peduli sama Arkan. Itu sebabnya mengapa Arkan jadi begini,” tutur Arkan sesenggukan.

Akhirnya, mendengar ungkapan itu, Arga tidak bisa menahan haru, ia pun mulai sadar betapa rapuhnya sang putra. Tak sadar, ia pun perlahan turut menangis.

Di ruang rumah mewah dan sepi itu, sesaat hanya terdengar tangisan dua orang insan memilukan.

Perlahan Arga mendekati putranya, dengan sangat erat dia memeluknya. Arkan tak kuasa menolak. Kehangatan yang dirindukan, mulai dirasakan, setelah sekian lama menghilang ditelan egoisme berkepanjangan.

“Arkan, maafkan papah ya nak. Papah ngaku salah, meskipun mungkin kata maaf Papah gak cukup buat sembuhin luka kamu,” ucap Arga lirih seraya memandangi wajah putranya itu.

Arkan sudah tidak bertenaga , karena terlalu cape dengan semua itu. Namun perlahan ketakutan menghadapi ayahnya mulai hilang, berganti kehangatan yang sangat dia rindukan.

“Pah, Arkan maafin Papah, semarah-marahnya Arkan, gak mungkin bisa benci sama papah,” ucapnya disela isak tangisan.

Pelukan itu semakin kencang, dua insan sesekali berpandangan setelah sekian lama berisi tegang akhirnya bisa saling menguatkan.

Mereka pun akhirnya bahagia selamanya. (*)

Leave feedback about this

  • Quality
  • Price
  • Service

PROS

+
Add Field

CONS

+
Add Field
Choose Image
Choose Video